AJN - BANDA ACEH, Pelaksanaan Pilkada Aceh berlangsung dengan aman, damai, dan tertib. Namun, meskipun berjalan damai, ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dan melayangkan protes. Untuk itu, tersedia saluran hukum yang dapat digunakan untuk mencari kepastian terkait persoalan tersebut.
Dalam beberapa hari terakhir, berbagai media melaporkan adanya pihak-pihak yang menyampaikan ketidakpuasan, dengan tuduhan kecurangan atau pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di salah satu kabupaten. Tuduhan ini terus diulang-ulang di media sosial, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara Pilkada Serentak 2024. Secara umum, Pilkada Aceh berjalan lancar dan aman, Ungkap Direktur Lembaga Emirates Development Research (EDR), Dr. Usman Lamreung, M.Si, melalui siaran persnya, Minggu ( 1/12/2024 ).
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh dan partai politik yang memberikan ucapan selamat kepada pasangan calon (Paslon) 02, Muzakir Manaf dan Fadhlullah, yang meraih suara terbanyak. Ucapan selamat ini menunjukkan penerimaan hasil pilkada dan keyakinan bahwa tidak terjadi kecurangan atau pelanggaran serius.
Pernyataan yang menyebut adanya pelanggaran masif, terstruktur, dan sistematis sering kali menggambarkan bahwa pelanggaran dilakukan dengan rencana matang dan berdampak besar terhadap hasil pemilihan. Pelanggaran masif merujuk pada tindakan yang memengaruhi hasil pemilihan dalam skala luas, seperti praktik curang, intimidasi, atau penggunaan sumber daya pemerintah secara tidak adil.
Sama halnya dengan kecurangan terstruktur dan sistematis, pelaku kecurangan masif bisa berasal dari aparat pemerintah maupun penyelenggara Pilkada. Pernyataan dalam video yang beredar di media sosial, yang menuduh adanya intimidasi, kekerasan, penggelembungan suara, serta pelanggaran TSM, perlu dibuktikan kebenarannya.
Jika tuduhan tersebut tidak terbukti, penyebaran opini yang menyesatkan—seperti tudingan pelanggaran berat di Kabupaten Aceh Utara—dapat dianggap mencederai demokrasi. Selain itu, penggiringan opini semacam ini dapat melanggar Undang-Undang Pilkada, yang memungkinkan pihak-pihak yang menuduh tanpa dasar dijerat dengan pidana pemilu.